PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PEMUKIMAN SPONTAN (SQUATTER) DI KENTINGAN BARU
A. PENDAHULUAN
Membanjirnya penduduk pedesaan mengadu nasib ke daerah perkotaan telah berimplikasi terhadap berbagai aspek kehidupan kota, baik itu menyangkut transportasi, perumahan, kesehatan lingkungan, penyediaan sarana dan prasarana umum, sektor tenaga kerja, perekonomian kota, tata ruang, dsb. Pesatnya pertumbuhan penduduk Kota Solo selain disebabkan oleh proses migrasi, juga karena pertambahan alami. Kota Solo itu sendiri telah berkembang dalam proses interaksi dari komponen keadaan penduduk, teknologi, lingkungan dan organisasi perkotaan sehingga telah melahirkan “ ecological urban complex”. Sejalan dengan kondisi yang demikian maka di Kota Solo, seperti halnya kota-kota metropolitan yang lain, muncul kemajemukan masyarakat. Sebagian dari sekmen masyarakat yang majemuk tersebut adalah penduduk yang tinggal di daerah perkampungan kumuh baik yang legal maupun yang ilegal.
Penduduk yang bermukim di kampung yang ilegal lazim disebut penduduk liar atau penduduk spontan atau squatters. Hal tersebut telah menjadi fenomena sosial yang universal, artinya telah terjadi di banyak negara. Keberadaan masyarakat kumuh tersebut merupakan realita sosial yang tidak dapat dihilangkan, sepanjang penduduk daerah penyangga Kota Solo masih hidup dalam kondisi marginal atau telah terjadi proses ketimpangan dalam kehidupan sosialekonomi. Pembangunan investasi yang bergerak pesat telah terjadi di Solo sehingga telah memperlebar jurang ketimpangan dengan kondisi sosial ekonomi daerah perdesaan. Oleh karena itu ketimpangan tersebut telah menimbulkan proses migrasi , antara lain penduduk non-permanen pada strata sosial-ekonomi bawah.
Dengan kesempatan kerja yang semakin langka, angka pemutusan kerja yang tinggi, pendapatan yang terus menurun, PDRB yang semakin lemah maka kondisi serta standar kualitas kehidupan masyarakat cenderung menurun. Kemampuan daya beli masyarakat menurun secara signifikan termasuk akses mereka terhadap rumah yang layak. Oleh karena itu tidak mengherankan jika permasalahan rumah kumuh ataupun rumah liar semakin akut. Ini tentu membutuhkan perhatian serius dari seluruh ‘stakeholders’ di bidang perumahan dan pemerintah kota itu sendiri.
Permasalahan pemukiman yang terjadi di kota Solo khususnya di Kentingan baru meruapakan masalah daerah yang timbul akibat adanya gaya centripetal yang dipengaruhi oleh keadaan kota yng relatif banyak menyediakan lapangan pekerjaan, pesatnya bidang pendidikan, dan pengaruh psikologi yang tidak didapatkan di desa. Penyebab utama timbulnya permukiman liar dan kumuh di perkotaan antara lain karena faktor urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, sulitnya mencari pekerjaan, sulitnya mencicil atau menyewa rumah, dan kurang tegasnya pelaksanaan peraturan perundang-undangan (Komarudin, 1997 dalam Yovita Mauren 2008).
Kentingan baru merupakan sebuah pemukiman yang tidak terdaftar dalam dinas perumahan serta tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah kota setempat. Letaknya yang berada disekitar komplek sebuah Universitas Negeri di Solo menyebabkan pemandangan yang kurang menarik bagi penataan ruang kota. Keberagaman penduduk yang ada di dalamnya tidak hanya datang dari satu daerah namun dari beberapa daerah.
Jenis pekerjaan yang digeluti oleh penduduk yang tinggal di pemukiman liar (sqatter) inipun bermacam-macam. Adanya keterbatasan akses, keahlian, dan pendidikan membuat para pendatang ini tidak dapat diserap oleh sektor-sektor formal. Akibatnya, sektor informal dengan konsekuensi penghasilan yang rendah dan tidak tetap merupakan tumpuan sumber penghidupan bagi sebagian besar masyarakat squatters. Bagi mereka, biaya murah dan kedekatan dengan tempat kerja merupakan keharusan dalam memilih lokasi hunian (Turner, 1972 dalam Yovita Mauren 2008). Pada umumnya masyarakat squatters kurang peduli dengan kenyamanan dan keamanan dalam bertempat tinggal sehingga mereka lebih identik dengan segala atribut kekumuhan dan ilegalitas. Dengan demikian, fenomena squatters sebagian besar terjadi karena tuntutan kebutuhan, bukan karena pilihan.
B. TUJUAN DAN SASARAN
Dalam pembahasan ini akan mencoba mengkaji penyebab keberadaan pemukiman kumuh liar (Squatter) di Kentingan baru, Jebres-Solo, masalah yang timbul akibat adanya squatter, karakteristik penduduk Squatter baik kondisi sosial, ekonomi, dan fisik lingkungan serta tingkat kemampuan dan kesediaan membayar tempat tinggal masyarakat squatter dilihat dari sudut pandang atau persepsi masyarakat sekitar.
Dalam mencapai tujuan tersebut, maka ditetapkan beberapa sasaran studi melalui teknik wawancara dengan penduduk sekitar squatter kentingan baru dan mengadakan survey di lokasi pemukiman kumuh liar di kentingan baru. Beberapa sasaran studi secara lebih rinci sebagai berikut:
Menanyakan dan mengidentifikasi penyebab keberadaan penghuni spontan (squatter) di Kentingan baru. Baik penyebab secara langsung maupun tidak langsung.
Menanyakan dan mengidentifikasi karakteristik penduduk squatter baik kondisi sosial, ekonomi dan fisik lingkungan.
Pengaruh adanya squatter di Kentingan baru terhadap kehidupan masyarakat sekitar.
C. WAKTU, TEMPAT DAN NARASUMBER
Wawancara kepada penduduk sekitar dilaksanakan pada:
Hari/tanggal : Rabu, 20 Januari 2010
Tempat : Rumah masing-masing narasumber
Adapun narasumber yang diwawancarai adalah warga yang tinggal di sekitar komplek penghuni spontan yang mendiami pemukiman kumuh ilegal di kentingan baru sebanyak 3 orang. Berikut identitas narasumber yang berhasil diwawancarai:
Nama : Puji Sulistinah
Usia : 38 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Panggung rejo RT 5 RW 25 Jebres Surakarta
Nama : Suminah
Usia : 47 tahun
Pekerjaan : Pedagang sayur
Alamat : Panggung rejo RT 5 RW 25 Jebres Surakarta
Nama : Meilinda
Usia : 35 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Panggung rejo RT 5 RW 25 Jebres Surakarta
D. HASIL WAWANCARA
Dari wawancara yang dilakukan dengan ketiga narasumber dapat diperoleh keterangan bahwa pernyataan dari ketiga narasumber 80 % sama. Dari keterangan sebagai berikut:
1. Sejarah Mendapatkan lahan
Penduduk yang tinggal di lahan ilegal tepatnya Kentingan baru merupakan tanah sengketa. Awalnya tanah ini merupakan tanah milik UNS (Universitas Sebelas Maret) Surakarta yang dihibahkan kepada pemerintah daerah yang pada waktu itu masih dalam kekuasaan pemerintah orde baru. Namun, dari pemerintah sendiri tanah tersebut justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Ketika tumbangnya rezim orde baru tahun tanah ini kemudian menjadi rebutan baik pejabat pemerintah maupun tanah warga sekitar. Keadaan yang memanas dan tidak terkontrol pada waktu itu dan banyaknya kerusuhan yang terjadi, hal ini mengakibatkan warga berbondong-bondong mengadakan penjarahan lahan di kentingan baru.
Menurut penuturan salah satu narasumber awalnya lahan ini hanya dikapling-kapling oleh orang-orang yang melakukan penjarahan dan belum ada warga yang berani mendirikan pemukiman disana. Sampai kemudian ada satu dari anggota legislatif/anggota TNI (karena narasumber lupa instansinya) yang bernama pak “D” mengkibatkan warga yang semula masih malu-malu untuk mendirikan bangunan satu persatu mulai berani membangun. Bangunan pertama kali adalah yang berada di bagian utara sampai kemudian pemukiman semakin bertambah ke selatan dan mengalami pemadatan sampai pada blok 8.
Warga yang mendiami pemukiman kumuh ilegal ini pada mulanya berasal dari warga yang dulunya tinggal di lahan yang sekarang dibangun “Tecnno Park”. Karena adanya penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah setempat warga mau tidak mau harus pindah dari lahan tersebut. Sebagian warga ada yang pindah di lokasi lain, bahkan ada kembali ke kampung halamannya dan sebagian malah memilih untuk tinggal di lahan ilegal yang sekarang dikenal dengan Kentingan baru.
2. Karakteristik penduduk Squatter
Karakteristik masyarakat squatter yang dikaji dalam studi ini meliputi karakteristik sosial, ekonomi, fisik, persepsi dan opini responden, dalam hal ini masyarakat squatter. Karakteritik sosial masyarakat squatter di Kentingan baru dapat dilihat dari usia, tingkat pendidikan, asal daerah, dan ukuran rumah tangga. Dari hasil wawancara yang didapatkan sebagian besar narasumber tidak terlalu tahu keadaan secara jelas keadaan sosial ekonomi masyarakat squatter disana.
Karena sebelum perubahan tema tugas tim survey kelompok 1 telah melakukan survey langsung ke lokasi pemukiman kumuh liar di Kentingan baru tepatnya di blok 1 Kentingan baru. Dari hasil wawancara dengan penduduk squatter kentingan baru ini didapat keterngan bahwa warga kentingan baru mempunyai pekerjaan yang beragam. Dari mulai pemulung, sopir truk, berjualan makanan, dan lain sebagainya. Untuk profesi sebagai pemulung setiap harinya bisa menghasilkan uang maksimal Rp. 500.000 setiap bulannya dan itu tidak pasti karena tergantung dari barang-barang rongsokan yang terkumpul.
Keadaan fisik daerah pemukiman tidak terlalu baik. Seperti pemukiman kumuh pada umumnya, di kentingan baru terdiri dari 8 blok. Blok yang paling utara yaitu blok 8 adalah blok yang paling awal menempati lahan tersebut. Blok yang satu dengan blok yang lain terpisah yang ditandai dengan adanya gapura melengkung bertuliskan “Kentingan baru”di depan pintu masuk blok. Keadaan satu rumah dengan rumah yang lain saling berhimpitan dan tidak terdapat ruang untuk bergerak apalagi adanya ventilasi. Masyarakat yang tinggal disini umumnya berasal dari daerah luar dan sekitar kota Solo yaitu Sragen, Praci, wonogiri, Ngawi, Magetan, Batu, dan lain sebagainya.
Usia penduduknyapun bermacam-macam, kebanyakan masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh ini mengajak serta keluarga mereka untuk ikut ke kota dan tinggal bersama di rumah kumuh mereka. Dalam satu rumah biasanya di tinggali oleh satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak mereka. Keadaan rumah yang sempit dan tidak layak yang tidak sebanding dengan jumlah anggota yang banyak mengakibatkan anggota keluarga untuk berhimpitan dalam satu rumah kecil. Biasanya ruang tamu akan diubah menjadi ruang tidur ketika waktu malam.
3. Pengaruh adanya Squatter bagi masyarakat sekitar
Menurut penuturan narasumber yang penulis wawancarai, keberadaan penghuni spontan di pemukiman liar (Squatter) di Kentingan baru tidak ada pengaruh ataupun mengganggu bagi ketrentraman masyarakat. Bagi mereka yang penting tidak saling mengganggu dan tidak ada konflik yang terjadi. Mereka menambahkan bagi rakyat kecil dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari sudah sangat cukup. Dengan kata lain, bagi masyarakat kota yang mempunyai ciri gesselschaft yaitu hubungan yang terjadi hanya dilatar belakangi adanya kerja sama, sehingga muncul pernyataan “urusanmu-urusanmu urusanku urusanku” dan terkesan tidak mau tahu urusan orang lain.
E. PENUTUP
Pemukiman kumuh liar (squatter) yang terjadi di Kentingan baru merupakan dampak dari adanya migrasi masuk yang menyebabkan kurangnya lahan pemukiman untuk warga serta rendahnya pendapatan masyarakat sehingga terjadilah ekspansi penduduk untuk menempati ruang secara paksa. Karakteristik masyarakat yang tinggal di pemukima kumuh ini meliputi kondisi sosial ekonomi, fisik lingkungan yang juga tidak jauh berbeda dengan karakteristik squatter di tempat lain. Persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan squatter di Kentingan baru ini tidak menimbulkan dampak atau pengaruh yang berarti. Yang terpenting bagi masyarakat sekitar adalah tidak saling mengganggu satu sama lain.
Daftar Pustaka
Sueca, Ngakan Putu. 2004. Permukiman Kumuh, Masalah Atau Solusi?. Jurnal Permukiman Natah Vol. 2 No. 2 Agustus 2004 : 56 – 107. Universitas Udayana.
Bandiyono, Suko. Mobilitas Penduduk N0n-Permanen Di Permukiman Kumuh Kota Ciamis: Kebijakan Pengelolaan. Makalah Kebijakan
Maureen, Yovita. 2008. Identifikasi Karakteristik Squatters Serta Tingkat Kemampuan Dan Kesediaannya Membayar Tempat Tinggal Di Kota Batam. Tugas Akhir Mahasiswa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar